Kamis, 17 November 2016

06.45 - No comments

Geologi Kalimantan

Geologi Regional Kalimantan Timur

Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Adanya interaksi konvergen atau kolisi antara 3 lempeng utama, yakni lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Asia yang membentuk daerah Timur Kalimantan. Evolusi tektonik dari Asia Tenggara dan sebagian Kalimantan yang aktif menjadi bahan perbincangan antara ahli-ahli ilmu kebumian. Pada zaman Kapur Bawah, bagian dari continental passive margin di daerah Barat daya Kalimantan, yang terbentuk sebagai bagian dari lempeng Asia Tenggara yang dikenal sebagai Paparan Sunda. Pada zaman Tersier, terjadi peristiwa interaksi konvergen yang menghasilkan beberapa formasi akresi, pada daerah Kalimantan. Selama zaman Eosen, daerah Sulawesi berada di bagian Timur kontinen dataran Sunda. Pada pertengahan Eosen, terjadi interaksi konvergen ataupun kolisi antara lempeng utama, yaitu lempeng India dan lempeng Asia yang mempengaruhi makin terbukanya busur belakang samudra, Laut Sulawesi dan Selat Malaka. Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan yang dihasilkan oleh perkembangan regangan cekungan yang besar pada daerah Kalimantan. Pada Pra-Tersier, Pulau Kalimantan ini merupakan salah satu pusat pengendapan, yang kemudian pada awal tersier terpisah menjadi 6 cekungan sebagai berikut: Cekungan Barito yang terletak di Kalimantan Selatan, Cekungan Kutai yang terletak di Kalimantan Timur, Cekungan Tarakan yang terletak di Timur laut Kalimantan, Cekungan Sabah yang terletak di Utara Kalimantan, Cekungan Sarawak yang terletak di Barat laut Kalimantan, Cekungan Melawai dan Ketungau yang terletak di Kalimantan Tengah.


Tektonik Regional Cekungan Kutai

Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan berumur Tersier yang paling ekonomis di Indonesia. memiliki luas kurang lebih 60.000 km2 yang terisi oleh batuan sedimen tersier dengan ketebalan hingga 14 km pada bagian yang paling tebal. Cekungan ini merupakan cekungan yang paling luas dan paling dalam di Indonesia bagian Barat yang memiliki cadangan minyak, batubara, dan gas yang besar (Allen dan chambers,1998 dalam Rienno Ismail, 2008).

Cekungan Kutai terletak di bagian Timur dari paparan Sundaland, yang merupakan perluasan lempeng kontinen Eurasia ke arah Tenggara. Cekungan Kutai di bagian Utara dibatasi oleh kelurusan Bengalong dan Zona Patahan Sangkulirang, di bagian Selatan dibatasi oleh Sesar Adang, di bagian Barat dibatasi oleh Punggungan Kalimantan bagian tengah, dan di sebelah Timur dibatasi oleh Selat Makasar.

Cekungan Kutai dihasilkan oleh proses pemekaran (rift basin) yang terjadi pada Eosen Tengah yang melibatkan pemekaran selat Makasar bagian Utara dan Laut Sulawesi (Chambers & Moss, 2000 dalam Rienno Ismail, 2008). Selama Kapur Tengah sampai Eosen Awal, pulau Kalimantan merupakan tempat terjadinya kolisi dengan mikro-kontinen, busur kepulauan, penjebakan lempeng oceanic dan intrusi granit, membentuk batuan dasar yang menjadi dasar dari Cekungan Kutai. Sedimentasi di Cekungan Kutai dapat dibagi menjadi dua yaitu, sedimen Paleogen yang secara umum bersifat transgresif dan fasa sedimentasi Neogen yang secara umum bersifat regresif (Allen dan Chambers, 1998 dalam Rienno Ismail, 2008).

Fasa sedimentasi Paleogen dimulai ketika terjadi fasa tektonik ekstensional dan pengisian riftada kala Eosen. Pada masa ini, Selat Makasar mulai mengalami pemekaran serta Cekungan Barito, Kutai, dan Tarakan merupakan zona subsidence yang saling terhubungkan, kemudian sedimentasi Paleogen mencapai puncak pada fasa pengisian di saat cekungan tidak mengalami pergerakan yang signifikan, sehingga mengendapkan serpih laut dalam secara regional dan batuan karbonat pada Oligosen Akhir. Fasa sedimentasi Neogen dimulai pada Miosen Bawah dan masih berlanjut terus sampai sekarang, meghasilkan endapan delta yang berprogradasi dan terlampar di atas endapan fasa sedimentasi Paleogen.

Selama Eosen Akhir, sejumlah half graben terbentuk sebagai respon dari terjadinya fasa ekstensi regional. Fasa ini terlihat juga di tempat lain, yaitu berupa pembentukan laut dan Selat Makasar. Half graben ini terisi dengan cepat oleh endapan syn-rift pada Eosen Tengah-Eosen Akhir dengan variasi dari beberapa fasies litologi.

Pada Eosen Akhir, cekungan mengalami pendalaman sehingga terbentuk suatu kondisi marin dan diendapkan endapan transgresi yang dicirikan oleh serpih laut dalam.

Material yang diendapkan berupa endapan turbidit kipas laut dalam dan batuan karbonat pada bagian yang dekat dengan batas cekungan, hal ini berlangsung terus hingga Miosen Awal (Allen dan Chambers, 1998 dalam Rienno Ismail, 2008).

Tektonik inversi terjadi pada Miosen Awal, menyebabkan pengangkatan pada pusat cekungan yang terbentuk selama Eosen dan Oligosen, sehingga cekungan mengalami pendangkalan. Erosi terhadap batuan sedimen Paleogen dan batuan volkanik andesitik menghasilkan luapan sedimen, sehingga terjadi progradasi delta dari Barat ke Timur. Di daerah sekitar Samarinda, ketebalan endapan Miosen Awal dapat mencapai 3500 m.

Inversi berlanjut dan mempengaruhi cekungan selama Miosen Tengah dan Pliosen. Seiring berjalannya waktu, inversi semakin mempengaruhi daerah yang terletak lebih ke arah Timur, sehingga mempercepat proses progradasi delta.

Geomorfologi Regional Cekungan Kutai

Menurut S. Supriatna dan E. Rustandi (1995), Cekungan Kutai dicirikan oleh tiga satuan morfologi. Di bagian Tengah bentang alam berbukit yang sebagian bergelombang, delta Mahakam di bagian Timur dan bagian Barat adalah dataran berawa.

Daerah perbukitan  di bagian tengah dalam menempati lebih dari setengah lembar samarinda. Daerah penyelidikan termasuk ke dalam morfologi daerah perbukitan.

Delta Mahakam menjorok ke laut. Delta Mahakam merupakan contoh khas delta yang membentuk kaki burung. Pada perkembangannya timbul sejumlah alur bagi seperti Muara Kaeli, Muara Pantunan, Sungai Terusan Pamanaran dan Muara Nujit. Medan delta yang rendah tertutup rawa dengan vegetasi khas yaitu bakau dan rumbia.

Dataran berawa di bagian Barat laut terisolir oleh Sungai Mahakam, karena pengangkatan terjadi di perbukitan di sebelah Timur maka pengalirannya terhambat dan mengakibatkan pembentukan rawa dan danau di pedalaman.


Stratigrafi Regional Cekungan Kutai

Pada Kala Miosen Tengah di Cekungan Kutai terbentuk Formasi Warukin (Tmw) dan Formasi Kelinjau (Tmk) yang keduanya berhubungan saling menjari dan menindih secara tidak selaras Formasi Berai (Tomb), Montalat (Tomm), Jangkan (Tomj), Keramuan (Tomk), Purukcahu (Tomc), Penuut (Toml) dan Gunungapi Malasan (Tom).

Pada kala yang sama yakni Miosen Tengah, di Cekungan Mahakam terbentuk Formasi Pulau Balang (Tmpb) yang disertai kegiatan gunungapi Meragoh. Beberapa satuan batuan anggota kedua formasi ini, secara setempat berhubungan saling menjari. Selanjutnya terbentuk lagi Formasi Balikpapan (Tmbp) yang secara tidak selaras menindih Formasi Pulau Balang (Tmpb) dan Formasi Batuan Gunungapi Meragoh (Tmm).

Pada Kala Miosen Akhir hingga Plistosen (Kuarter), dalam Cekugan Kutai terjadi lagi kegiatan gunungapi Mentulang dan Bandang (TmQm), yang menindih secara tidak selaras Formasi Warukin (Tmw) dan Formasi Kelinjau (Tmk).

Pada Kala Pliosen hingga Plistosen (Kuarter), di dalam Cekungan Mahakam terbentuk Formasi Kampungbaru (Tpkb) yang menindih secara tidak selaras Formasi Balikpapan (Tmbp).

Pada Kala Holosen (Kuarter), di dalam Cekungan Mahakam dan Kutai, terbentuk endapan material hasil desintegrasi, transportasi serta denudasi berbagai macam batuan yang membentuk endapan kuarter.

Endapan kuarter tersebut adalah Aluvium Sungai (Qa), Aluvium Rawa (Q1) serta Aluvium Pantai (Qs). Litologi batuan yang menyusun endapan kuarter tersebut umumnya mempunyai sifat belum terkonsolidasi, mudah lepas ikatan antar butirannya, bentuk membulat dan kegiatannya masih terus berlangsung hingga kini.

Menurut peneliti yang lain, secara regional di daerah Kalimantan, litologi penyusun Zona Cekungan Mahakam dan Kutai yang tersingkap sekarang antara lain didominasi oleh Endapan Kuarter dan batuan-batuan Sedimen berumur Paleosen (Tersier Awal) hingga Plistosen atau Kuarter Awal (W. Hamilton, 1978; Halien, 1969 dan Pupiluli, 1973 dalam Rienno Ismail, 2008).

W. Hamilton (1978) dalam Rienno Ismail (2008), juga menyatakan bahwa secara regional, di daerah Kalimantan batuan dasarnya yang tersingkap antara lain terdiri dari batuan sedimen, beku dan malihan serta kombinasi dari ketiganya, yang diduga berumur Pra-Trias (Perem) pada Masa Paleozoikum hingga Masa Mesozoikum yang berumur Kapur Akhir.

Cekungan Kutai berada di Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur, secara geografis daerah tersebut terletak antara ( 0- 6o) LU, ( 0- 9 o) LS dan 116o30’ - 116o45

Cekungan Kutai yang luasnya + 50.000 km2, cekungan ini mulai diisi sedimen pada permulaan Tersier sampai Kuarter. Dataran cekungan ini terus melebar ke arah Timur. Pengisisan cekungan ini dimulai dari lingkungan laut sampai fluvial, pada pengendapan lingkungan paralik banyak diendapkan batubara yang diselingi endapan sedimen. Pada Miosen Bawah terjadi siklus regresi, lingkungan daratan mulai melebar ke arah TimurLaut. Di atas endapan tersier diendapakan aluvium yang terdiri dari lempung, lanau dan gambut, endapan ini mengisi bagian yang rendah. 

Stratigrafi daerah Cekungan Kutai merupakan endapan-endapan sedimen Tersier sebagai hasil dari siklus transgresi dan regresi laut dan memiliki kesebandingan dengan cekungan Barito serta Cekungan Tarakan (Satyana et al., 1999 dalam Rienno Ismail, 2008). Urutan transgresif dapat ditemukan dengan baik di sepanjang daerah pinggiran cekungan tanpa endapan klastik yang berbutir kasar dan serpih yang diendapkan pada lingkungan paralis hingga laut dangkal 

Urutan regresif Cekungan Kutai mengandung endapan klastik delta hingga paralis yang banyak mengandung lapisan batubara dan lignit. Sistem delta yang berumur Miosen Tengah berkembang secara cepat ke arah timur dan ke arah tenggara. Progradasi ke arah timur dan tumbuhnya delta yang terus menerus sepanjang waktu diselang-selingi oleh fasa transgresif secara lokal (Koesoemadinata, 1978 op cit Satyana et al., 1999 dalam Rienno Ismail, 2008). Batupasir yang terbentuk di delta plain dan delta front yang regresif berumur Miosen Tengah merupakan reservoir di sejumlah lapangan minyak dan gas bumi di Cekungan Kutai.

Batuan tertua yang ada di Cekungan Kutai berupa batuan metamorf yang menjadi pembentuk batuan dasar dan berumur Paleozoikum dan Mesozoikum (Satyana et al., 1999 dalam Rienno Ismail, 2008). Di atas batuan dasar ini secara tidak selaras diendapkan Formasi Kiham Haloq berupa alluvial berumur Paleosen yang terletak dekat dengan batas cekungan bagian barat (Moss dan Chambers, 2000 dalam Rienno Ismail, 2008). Pada kala Eosen cekungan terus mengalami pendalaman akibat pemekaran batuan dasar, sehingga terjadi peristiwa transgresi yang mengendapkan Formasi Mangkupa berupa serpih yang diendapkan pada lingkungan laut terbuka hingga marginal marine (Satyana et al., 1999 dalam Rienno Ismail, 2008).

Sedimen siliklastik kasar kemudian diendapkan di atas Formasi Mangkupa, yaitu Formasi Beriun yang berasosiasi dengan serpih pada beberapa tempat, hal ini mengindikasikan terjadinya pengangkatan secara lokal. Setelah pengendapan Formasi Beriun, transgresi terjadi kembali dan diendapkan Formasi Atan berupa serpih laut dalam, serta Formasi Kedango berupa batuan karbonat (Satyana et al., 1999 dalam Rienno Ismail, 2008).

Di atas Formasi Atan dan Kedango, diendapkan Formasi Pamaluan yang tersusun atas batulempung, serpih dengan sisipan napal, batupasir, dan batugamping. Formasi ini terbentuk pada kala Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dengan lingkungan pengendapan berupa laut dalam. Formasi Pamaluan adalah fase regresif yang berkembang di Cekungan Kutai dan mengalami progradasi secara cepat ke arah timur (Satyana et al,. 1999 dalam Rienno Ismail, 2008).

Formasi Bebulu diendapakan di atas formasi Pamaluan secara selaras , tersusun atas batugamping dengan sisipan lanau dan napal yang merupakan endapan karbonat fasa regresif (Satyana et al,. 1999 dalam Rienno Ismail, 2008). Formasi ini berumur Miosen Awal-akhir Miosen Awal dengan lingkungan pengendapan laut dangkal (Satyana et al,. 1999 dalam Rienno Ismail, 2008).

Formasi Pulubalang diendapkan secara selaras di atas Formasi Bebulu. Formasi ini tersusun atas perselingan graywacke dan batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping, batulempung, batubara, dan tuff dasit. Umur Formasi Pulubalang adalah Miosen Tengah dengann lingkungan pengendapan darat hingga laut dangkal (Satyana et al,. 1999 dalam Rienno Ismail, 2008).

Formasi Balikpapan terbentuk dalam lingkungan peng-endapan delta atau litoral hingga laut dangkal terbuka, dengan kisaran umur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir, diduga mempunyai ketebalan formasi 1.800 m, terdapat secara tidak selaras di bawah Formasi Kampungbaru. Terdiri dari batupasir kuarsa, batulempung dengan sisipan batulanau, serpih, batugamping dan batubara. Lapisan batupasir kuarsa berbutir halus sampai sedang, terpilah cukup baik dengan kandungan mineral kuarsa sekitar 70 %, bersifat kurang padat, bersisipan oksida besi setebal 30 cm, lignit setebal 50 cm-150 cm, dan serpih setebal 30 cm, serta lensa-lensa batugamping setebal 10 cm - 50 cm yang bersifat keras, pejal dan pasiran.

Formasi Kampung Baru diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Balikpapan. Terdiri dari lapisan batupasir kuarsa bersisipan dengan batulempung, batulanau, konglomerat aneka bahan, lignit, gambut dan oksida besi. Lapisan batupasir kuarsa, sedikit mengandung feldspar dan karbon, berbutir halus sampai menengah, terpilah baik, mudah lepas ikatan antar butirannya. Lapisan batulempung tufan, berlapis tipis, terdapat alur nodul lempung setebal 1 cm dengan inti kuarsa. Lapisan batulanau, berwarna kehijauan, setempat berselingan dengan gambut setebal 1 cm.Konglomerat aneka bahan, bagian bawah terdiri atas komponen basal dan kuarsa berukuran butir 0,5  cm sampai 2 cm serta setempat mencapai 5 cm, matriks batupasir kuarsa, berstruktur perlapisan silang-siur, berlapisan; bagian atas komponen makin mengecil dan batupasir makin menyolok serta berstruktur silang-siur. Lapisan lignit dan gambut tersebar tidak merata dengan ketebalan mencapai 1,5 m.  Oksida besi sebagai sisipan dengan ketebalan 2 cm sampai 3 cm, dan nodul bergaris tengah 1 cm sampai 5 cm. Formasi Kampungbaru terbentuk dalam lingkungan pengendapan delta hingga laut dangkal, dengan kisaran umur Kala Miosen Akhir sampai Plio-Pleistosen, diduga mempunyai ketebalan formasi berkisar antara 250 m sampai 800 m.

Endapan kuarter Delta Mahakam tersusun dari pasir, lumpur, kerikil dan endapan pantai yang terbentuk pada lingkungan sungai, rawa, pantai, dan delta dengan hubungan yang bersifat tidak selaras terhadap batuan di bawahnya. Endapan ini memiliki penyebaran sepanjang pantai timur dan merupakan produk dari Delta Mahakam modern yang masih berkembang terus hingga sekarang.


Struktur Geologi Regional Cekungan Kutai


Struktur yang dapat diamati di Lembar Samarinda berupa lipatan antiklinorium dan sesar, lipatan umumnya berarah Timurlaut- Baratdaya, dengan sayap lebih curam di bagian Tenggara. Formasi Pamaluan, Berbuluh dan Balikpapan sebagian terlipat kuat dengan kemiringan antara 40º - 75º. Batuan yang lebih muda seperti Formasi Kampungbaru pada umumnya terlipat lemah. Di daerah ini terdapat tiga jenis sesar yaitu sesar naik, sesar turun, dan sesar mendatar. Sesar naik diduga terjadi pada Miosen Akhir yang kemudian terpotong oleh sesar mendatar yang terjadi kemudian. Sesar turun terjadi pada kala Pliosen. Di daerah Embalut terdapat lipatan yang membentuk antiklin maupun sinklin

Sumberdaya mineral dan energi yang potensi di Lembar Samarinda berupa minyak dan gas bumi serta batubara, terdapat di Sangasanga, Muarabadak dan Tanjung Selatan , sedangkan batubara terdapat di Loahaur, Loabukit dan Sebuluh. Semuanya di tepi S. Mahakam.  

Struktur geologi regional dan tektonika yang berkembang di sekitar daerah penyelidikan adalah berupa perlipatan, sesar dan kelurusan berarah Baratdaya-Timurlaut dan Baratlaut-Tenggara.

Struktur perlipatan berupa antiklin dan sinklin dengan sumbu yang relatif sejajar dengan pola struktur regional yakni Baratdaya-Timurlaut, sayap-sayap struktur antiklin dan sinklin umumnya membentang asimetris dengan sudut kemiringan yang landai hingga curam. Secara setempat ujung-ujung sumbu struktur perlipatan tersebut, sebagian ada yang menunjam, terpotong oleh struktur sesar atau tertimbun batuan lain.

Struktur antiklin dan sinklin sebagian besar melipat batu-batuan sedimen berumur Tersier dan menyingkapkan batuan malihan dan sedimen yang berumur jauh lebih tua.

Beberapa batuan sedimen Tersier pembawa batubara yang ikut terlipat, juga menyingkapkan atau mendekatkan lapisan batubara ke permukaan bumi.

Struktur sesar umumnya membentuk sesar normal, sesar geser dan sesar naik, dengan pola berarah Baratlaut-Tenggara dan Baratdaya-Timur laut.

Struktur sesar yang nampak saat ini umumnya mengoyak batuan-batuan sedimen berumur Tersier dan Pra-Tersier.

Struktur ini kemungkinan yang menyebabkan terjadinya proses intrusi yang menghasilkan mineralisasi, atau mengubah karakteristik lapisan batubara.

Kelurusan-kelurusan yang terbentuk, diperkirakan merupakan jejak atau indikasi struktur sesar dan kekar dengan pola yang searah struktur umum regional.  Kelurusan ini umumnya menoreh batuan-batuan berumur Tersier dan Pra-Tersier.

Mengingat litologi di daerah ini didominasi oleh batuan yang berumur Tersier, diduga kehadiran sesar, perlipatan dan kelurusan yang terlihat sekarang, berhubungan erat dengan kegiatan tektonik pada Zaman Tersier atau Intra Miosen.

Secara regional kegiatan tektonik di daerah ini dimulai sejak Mesozoikum hingga Tersier seiring dengan terbentuknya urutan stratigrafi  dari litologi formasi batuan yang terlihat sekarang. (S. Supriatna, Sukardi, dan E.Rustandi1995)































referensi :
-       Allen, G.P dan Chambers, J.LC., 1998, Deltaic Sediment in The Modern and Miocene Mahakam Delta, IPA, Jakarta
-       Biantoro, E., Muritno, B.P., Mamuaya, J.M.B., 1992, Inversion Faults As The Major Structural Control In The Northern Part Of The Kutai Basin, East Kalimantan, Proceedings of 21st Annual Convention of Indonesian Petroleum Association
-       Hadipandoyo, S., Setyoko, J., Suliantara, Guntur, A., Riyanto, H., Saputro, H.H., Harahap, M.D., Firdaus, N., 2007, Kualifikasi Sumberdaya Hidrokarbon Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangn Energi dan Sumberdaya Mineral “LEMIGAS”, Jakarta 
-       Hall, R., 2005, Cenozoic Tectonics of Indonesia, Problems and Models, Indonesian Petroleum Association and Royal Halloway University of London
-       Hutchison, C.S., 1996, The 'Rajang Accretionary Prism' and 'Lupar Line' Problem of Borneo, in R. Hall and D.J. Blundell, (eds.), Tectonic Evolution of SE Asia, Geological Society of London Special Publication, p. 247-261.
-       Mora, S., Gardini, M., Kusumanegara, Y., dan Wiweko, A.A., 2000, Modern, ancient deltaic deposits & petroleum system of Mahakam Area. AAPG-IPA Fieldtrip Guidebook 
-       Moss, S.J. dan Chambers, J.L.C., 1999, Depositional Modelling And Facies Architecture Of Rift And Inversion In The Kutai Basin, Kalimantan, Indonesia, Indonesian Petroleum Association, Proceedings 27th Annual Convention, Jakarta, 459-486
-       Satyana, A.H., Nugroho, D., Surantoko, I, 1999, Tectonic Controls on The Hydrocarbon Habitats of The Barito, Kutai and Tarakan Basin, Eastern Kalimantan, Indonesia; Major Dissimilarities, Journal of Asian Earth Sciences Special Issue Vol. 17, No. 1-2, Elsevier Science, Oxford 99-120

-       Van de weerd, A. A., and R.A. Armin, 1992, Origin and evolution of the Tertiary hydrocarbon bearing basins in Kalimantan (Borneo), Indonesia: AAPG Bulletin, v.76,p.1778-1803

0 komentar:

Posting Komentar