06.45 -
No comments
Geologi Kalimantan
Geologi Regional Kalimantan Timur
Kalimantan merupakan daerah
yang memiliki tektonik yang kompleks. Adanya interaksi konvergen atau kolisi
antara 3 lempeng utama, yakni lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik dan
Lempeng Asia yang membentuk daerah Timur Kalimantan. Evolusi tektonik dari Asia
Tenggara dan sebagian Kalimantan yang aktif menjadi bahan perbincangan antara
ahli-ahli ilmu kebumian. Pada zaman Kapur Bawah, bagian dari continental
passive margin di daerah Barat daya Kalimantan, yang terbentuk sebagai
bagian dari lempeng Asia Tenggara yang dikenal sebagai Paparan Sunda. Pada
zaman Tersier, terjadi peristiwa interaksi konvergen yang menghasilkan beberapa
formasi akresi, pada daerah Kalimantan. Selama zaman Eosen, daerah Sulawesi
berada di bagian Timur kontinen dataran Sunda. Pada pertengahan Eosen, terjadi
interaksi konvergen ataupun kolisi antara lempeng utama, yaitu lempeng India
dan lempeng Asia yang mempengaruhi makin terbukanya busur belakang samudra,
Laut Sulawesi dan Selat Malaka. Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan yang
dihasilkan oleh perkembangan regangan cekungan yang besar pada daerah
Kalimantan. Pada Pra-Tersier, Pulau Kalimantan ini merupakan salah satu pusat
pengendapan, yang kemudian pada awal tersier terpisah menjadi 6 cekungan
sebagai berikut: Cekungan Barito yang terletak di Kalimantan Selatan, Cekungan
Kutai yang terletak di Kalimantan Timur, Cekungan Tarakan yang terletak di
Timur laut Kalimantan, Cekungan Sabah yang terletak di Utara Kalimantan,
Cekungan Sarawak yang terletak di Barat laut Kalimantan, Cekungan Melawai dan
Ketungau yang terletak di Kalimantan Tengah.
Tektonik Regional Cekungan Kutai
Cekungan Kutai merupakan
salah satu cekungan berumur Tersier yang paling ekonomis di Indonesia.
memiliki luas kurang lebih 60.000 km2 yang terisi oleh batuan sedimen
tersier dengan ketebalan hingga 14 km pada bagian yang paling tebal. Cekungan ini
merupakan cekungan yang paling luas dan paling dalam di Indonesia bagian Barat yang
memiliki cadangan minyak, batubara, dan gas yang besar (Allen dan chambers,1998 dalam Rienno Ismail,
2008).
Cekungan Kutai terletak di bagian Timur dari
paparan Sundaland, yang merupakan perluasan lempeng kontinen Eurasia ke arah
Tenggara. Cekungan Kutai di bagian Utara dibatasi oleh kelurusan Bengalong dan
Zona Patahan Sangkulirang, di bagian Selatan dibatasi oleh Sesar Adang, di
bagian Barat dibatasi oleh Punggungan Kalimantan bagian tengah, dan di sebelah
Timur dibatasi oleh Selat Makasar.
Cekungan Kutai dihasilkan
oleh proses pemekaran (rift basin) yang terjadi pada Eosen Tengah yang
melibatkan pemekaran selat Makasar bagian Utara dan Laut Sulawesi (Chambers
& Moss, 2000 dalam Rienno Ismail, 2008). Selama Kapur Tengah sampai Eosen
Awal, pulau Kalimantan merupakan tempat terjadinya kolisi dengan
mikro-kontinen, busur kepulauan, penjebakan lempeng oceanic dan
intrusi granit, membentuk batuan dasar yang menjadi dasar dari Cekungan Kutai.
Sedimentasi di Cekungan Kutai dapat dibagi menjadi dua yaitu, sedimen Paleogen
yang secara umum bersifat transgresif dan fasa sedimentasi Neogen yang secara
umum bersifat regresif (Allen dan Chambers, 1998 dalam Rienno Ismail, 2008).
Fasa sedimentasi Paleogen dimulai ketika
terjadi fasa tektonik ekstensional dan pengisian riftada kala
Eosen. Pada masa ini, Selat Makasar mulai mengalami pemekaran serta Cekungan
Barito, Kutai, dan Tarakan merupakan zona subsidence yang
saling terhubungkan, kemudian sedimentasi Paleogen mencapai puncak pada fasa
pengisian di saat cekungan tidak mengalami pergerakan yang signifikan, sehingga
mengendapkan serpih laut dalam secara regional dan batuan karbonat pada
Oligosen Akhir. Fasa sedimentasi Neogen dimulai pada Miosen Bawah dan masih
berlanjut terus sampai sekarang, meghasilkan endapan delta yang berprogradasi
dan terlampar di atas endapan fasa sedimentasi Paleogen.
Selama Eosen Akhir, sejumlah half graben
terbentuk sebagai respon dari terjadinya fasa ekstensi regional. Fasa ini
terlihat juga di tempat lain, yaitu berupa pembentukan laut dan Selat Makasar. Half
graben ini terisi dengan cepat oleh endapan syn-rift pada
Eosen Tengah-Eosen Akhir dengan variasi dari beberapa fasies litologi.
Pada Eosen Akhir, cekungan mengalami
pendalaman sehingga terbentuk suatu kondisi marin dan diendapkan endapan
transgresi yang dicirikan oleh serpih laut dalam.
Material yang diendapkan berupa endapan
turbidit kipas laut dalam dan batuan karbonat pada bagian yang dekat dengan
batas cekungan, hal ini berlangsung terus hingga Miosen Awal (Allen dan
Chambers, 1998 dalam Rienno Ismail, 2008).
Tektonik inversi terjadi pada Miosen Awal, menyebabkan
pengangkatan pada pusat cekungan yang terbentuk selama Eosen dan Oligosen,
sehingga cekungan mengalami pendangkalan. Erosi terhadap batuan sedimen
Paleogen dan batuan volkanik andesitik menghasilkan luapan sedimen, sehingga
terjadi progradasi delta dari Barat ke Timur. Di daerah sekitar Samarinda,
ketebalan endapan Miosen Awal dapat mencapai 3500 m.
Inversi berlanjut dan mempengaruhi cekungan
selama Miosen Tengah dan Pliosen. Seiring berjalannya waktu, inversi semakin
mempengaruhi daerah yang terletak lebih ke arah Timur, sehingga mempercepat
proses progradasi delta.
Geomorfologi
Regional Cekungan Kutai
Menurut S. Supriatna dan
E. Rustandi (1995),
Cekungan Kutai dicirikan oleh tiga satuan morfologi. Di
bagian Tengah
bentang alam berbukit yang sebagian bergelombang, delta Mahakam di bagian Timur
dan bagian Barat adalah
dataran berawa.
Daerah perbukitan
di bagian tengah dalam menempati lebih dari setengah lembar samarinda. Daerah
penyelidikan termasuk ke dalam morfologi daerah
perbukitan.
Delta Mahakam menjorok
ke laut. Delta Mahakam merupakan contoh khas delta yang membentuk kaki burung.
Pada perkembangannya timbul sejumlah alur bagi seperti Muara Kaeli, Muara
Pantunan, Sungai Terusan Pamanaran dan Muara Nujit. Medan delta yang rendah
tertutup rawa dengan vegetasi khas yaitu bakau dan rumbia.
Dataran berawa di bagian
Barat laut terisolir
oleh Sungai Mahakam, karena pengangkatan terjadi di perbukitan di sebelah Timur maka
pengalirannya
terhambat dan mengakibatkan pembentukan rawa dan danau di pedalaman.
Stratigrafi Regional Cekungan Kutai
Pada Kala Miosen Tengah
di Cekungan Kutai terbentuk Formasi Warukin (Tmw) dan Formasi Kelinjau (Tmk)
yang keduanya berhubungan saling menjari dan menindih secara tidak selaras
Formasi Berai (Tomb), Montalat (Tomm), Jangkan (Tomj), Keramuan (Tomk),
Purukcahu (Tomc), Penuut (Toml) dan Gunungapi Malasan (Tom).
Pada kala yang sama
yakni Miosen Tengah, di Cekungan Mahakam terbentuk Formasi Pulau Balang (Tmpb)
yang disertai kegiatan gunungapi Meragoh. Beberapa satuan batuan anggota kedua
formasi ini, secara setempat berhubungan saling menjari. Selanjutnya terbentuk
lagi Formasi Balikpapan (Tmbp) yang secara tidak selaras menindih Formasi Pulau
Balang (Tmpb) dan Formasi Batuan Gunungapi Meragoh (Tmm).
Pada Kala Miosen Akhir
hingga Plistosen (Kuarter), dalam Cekugan Kutai terjadi lagi kegiatan gunungapi
Mentulang dan Bandang (TmQm), yang menindih secara tidak selaras Formasi
Warukin (Tmw) dan Formasi Kelinjau (Tmk).
Pada Kala Pliosen hingga
Plistosen (Kuarter), di dalam Cekungan Mahakam terbentuk Formasi Kampungbaru
(Tpkb) yang menindih secara tidak selaras Formasi Balikpapan (Tmbp).
Pada Kala Holosen
(Kuarter), di dalam Cekungan Mahakam dan Kutai, terbentuk endapan material
hasil desintegrasi, transportasi serta denudasi berbagai macam batuan yang
membentuk endapan kuarter.
Endapan kuarter tersebut
adalah Aluvium Sungai (Qa), Aluvium Rawa (Q1) serta Aluvium Pantai (Qs).
Litologi batuan yang menyusun endapan kuarter tersebut umumnya mempunyai sifat
belum terkonsolidasi, mudah lepas ikatan antar butirannya, bentuk membulat dan
kegiatannya masih terus berlangsung hingga kini.
Menurut peneliti yang
lain, secara regional di daerah Kalimantan, litologi penyusun Zona Cekungan
Mahakam dan Kutai yang tersingkap sekarang antara lain didominasi oleh Endapan
Kuarter dan batuan-batuan Sedimen berumur Paleosen (Tersier Awal) hingga
Plistosen atau Kuarter Awal (W. Hamilton, 1978; Halien, 1969 dan Pupiluli, 1973 dalam Rienno Ismail,
2008).
W. Hamilton (1978) dalam Rienno Ismail (2008), juga
menyatakan bahwa secara regional, di daerah Kalimantan batuan
dasarnya yang tersingkap antara lain terdiri dari batuan sedimen, beku dan
malihan serta kombinasi dari ketiganya, yang diduga berumur Pra-Trias (Perem)
pada Masa Paleozoikum hingga Masa Mesozoikum yang berumur Kapur Akhir.
Cekungan Kutai berada di
Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur, secara geografis daerah
tersebut terletak antara ( 0o - 6o) LU, ( 0o -
9 o) LS dan 116o30’ - 116o45’
Cekungan Kutai yang
luasnya + 50.000 km2, cekungan ini mulai diisi
sedimen pada permulaan Tersier sampai Kuarter. Dataran cekungan ini terus
melebar ke arah Timur.
Pengisisan cekungan ini dimulai dari lingkungan laut sampai fluvial, pada
pengendapan lingkungan paralik banyak diendapkan batubara yang diselingi
endapan sedimen. Pada Miosen Bawah terjadi siklus regresi, lingkungan daratan
mulai melebar ke arah TimurLaut. Di atas
endapan tersier diendapakan aluvium yang terdiri dari lempung, lanau dan gambut,
endapan ini mengisi bagian yang rendah.
Stratigrafi daerah Cekungan Kutai merupakan
endapan-endapan sedimen Tersier sebagai hasil dari siklus transgresi dan
regresi laut dan memiliki kesebandingan dengan cekungan Barito serta Cekungan
Tarakan (Satyana et al., 1999 dalam Rienno Ismail, 2008). Urutan transgresif
dapat ditemukan dengan baik di sepanjang daerah pinggiran cekungan tanpa
endapan klastik yang berbutir kasar dan serpih yang diendapkan pada lingkungan
paralis hingga laut dangkal
Urutan regresif Cekungan Kutai mengandung
endapan klastik delta hingga paralis yang banyak mengandung lapisan batubara
dan lignit. Sistem delta yang berumur Miosen Tengah berkembang secara cepat ke
arah timur dan ke arah tenggara. Progradasi ke arah timur dan tumbuhnya delta
yang terus menerus sepanjang waktu diselang-selingi oleh fasa transgresif
secara lokal (Koesoemadinata, 1978 op cit Satyana et al., 1999 dalam Rienno
Ismail, 2008). Batupasir yang terbentuk di delta plain dan delta
front yang regresif berumur Miosen Tengah merupakan reservoir di
sejumlah lapangan minyak dan gas bumi di Cekungan Kutai.
Batuan tertua yang ada di Cekungan Kutai
berupa batuan metamorf yang menjadi pembentuk batuan dasar dan berumur
Paleozoikum dan Mesozoikum (Satyana et al., 1999 dalam Rienno Ismail, 2008). Di
atas batuan dasar ini secara tidak selaras diendapkan Formasi Kiham Haloq
berupa alluvial berumur Paleosen yang terletak dekat dengan batas cekungan
bagian barat (Moss dan Chambers, 2000 dalam Rienno Ismail, 2008). Pada kala
Eosen cekungan terus mengalami pendalaman akibat pemekaran batuan dasar,
sehingga terjadi peristiwa transgresi yang mengendapkan Formasi Mangkupa berupa
serpih yang diendapkan pada lingkungan laut terbuka hingga marginal
marine (Satyana et al., 1999 dalam Rienno Ismail, 2008).
Sedimen siliklastik kasar kemudian diendapkan
di atas Formasi Mangkupa, yaitu Formasi Beriun yang berasosiasi dengan serpih
pada beberapa tempat, hal ini mengindikasikan terjadinya pengangkatan secara
lokal. Setelah pengendapan Formasi Beriun, transgresi terjadi kembali dan
diendapkan Formasi Atan berupa serpih laut dalam, serta Formasi Kedango berupa
batuan karbonat (Satyana et al., 1999 dalam Rienno Ismail, 2008).
Di atas Formasi Atan dan Kedango, diendapkan
Formasi Pamaluan yang tersusun atas batulempung, serpih dengan sisipan napal,
batupasir, dan batugamping. Formasi ini terbentuk pada kala Oligosen Akhir
hingga Miosen Awal dengan lingkungan pengendapan berupa laut dalam. Formasi
Pamaluan adalah fase regresif yang berkembang di Cekungan Kutai dan mengalami
progradasi secara cepat ke arah timur (Satyana et al,. 1999 dalam Rienno
Ismail, 2008).
Formasi Bebulu diendapakan di atas formasi
Pamaluan secara selaras , tersusun atas batugamping dengan sisipan lanau dan
napal yang merupakan endapan karbonat fasa regresif (Satyana et al,. 1999 dalam
Rienno Ismail, 2008). Formasi ini berumur Miosen Awal-akhir Miosen Awal dengan
lingkungan pengendapan laut dangkal (Satyana et al,. 1999 dalam Rienno Ismail,
2008).
Formasi Pulubalang diendapkan secara selaras
di atas Formasi Bebulu. Formasi ini tersusun atas perselingan graywacke dan
batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping, batulempung, batubara, dan tuff
dasit. Umur Formasi Pulubalang adalah Miosen Tengah dengann lingkungan
pengendapan darat hingga laut dangkal (Satyana et al,. 1999 dalam Rienno
Ismail, 2008).
Formasi Balikpapan terbentuk dalam lingkungan
peng-endapan delta atau litoral hingga laut dangkal terbuka, dengan kisaran
umur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir, diduga mempunyai
ketebalan formasi 1.800 m, terdapat secara tidak selaras di bawah
Formasi Kampungbaru. Terdiri dari batupasir kuarsa, batulempung dengan
sisipan batulanau, serpih, batugamping dan batubara. Lapisan
batupasir kuarsa berbutir halus sampai sedang, terpilah cukup baik dengan
kandungan mineral kuarsa sekitar 70 %, bersifat kurang padat, bersisipan oksida
besi setebal 30 cm, lignit setebal 50 cm-150 cm, dan serpih setebal 30 cm,
serta lensa-lensa batugamping setebal 10 cm - 50 cm yang bersifat keras, pejal
dan pasiran.
Formasi Kampung Baru diendapkan secara tidak
selaras di atas Formasi Balikpapan. Terdiri dari lapisan batupasir kuarsa
bersisipan dengan batulempung, batulanau, konglomerat aneka bahan, lignit,
gambut dan oksida besi. Lapisan batupasir kuarsa, sedikit mengandung
feldspar dan karbon, berbutir halus sampai menengah, terpilah baik, mudah lepas
ikatan antar butirannya. Lapisan batulempung tufan, berlapis tipis,
terdapat alur nodul lempung setebal 1 cm dengan inti kuarsa. Lapisan
batulanau, berwarna kehijauan, setempat berselingan dengan gambut setebal 1 cm.Konglomerat
aneka bahan, bagian bawah terdiri atas komponen basal dan kuarsa berukuran
butir 0,5 cm sampai 2 cm serta setempat mencapai 5 cm, matriks batupasir
kuarsa, berstruktur perlapisan silang-siur, berlapisan; bagian atas komponen
makin mengecil dan batupasir makin menyolok serta berstruktur silang-siur. Lapisan
lignit dan gambut tersebar tidak merata dengan ketebalan mencapai 1,5 m.
Oksida besi sebagai sisipan dengan ketebalan 2 cm sampai 3 cm, dan nodul
bergaris tengah 1 cm sampai 5 cm. Formasi Kampungbaru terbentuk dalam
lingkungan pengendapan delta hingga laut dangkal,
dengan kisaran umur Kala Miosen Akhir sampai Plio-Pleistosen,
diduga mempunyai ketebalan formasi berkisar antara 250 m sampai 800 m.
Endapan kuarter Delta Mahakam tersusun dari
pasir, lumpur, kerikil dan endapan pantai yang terbentuk pada lingkungan
sungai, rawa, pantai, dan delta dengan hubungan yang bersifat tidak selaras
terhadap batuan di bawahnya. Endapan ini memiliki penyebaran sepanjang pantai
timur dan merupakan produk dari Delta Mahakam modern yang masih berkembang terus
hingga sekarang.
Struktur Geologi Regional Cekungan Kutai
Struktur yang dapat diamati di Lembar
Samarinda berupa lipatan antiklinorium dan sesar, lipatan umumnya berarah
Timurlaut- Baratdaya, dengan sayap lebih curam di bagian Tenggara. Formasi
Pamaluan, Berbuluh dan Balikpapan sebagian terlipat kuat dengan kemiringan
antara 40º - 75º. Batuan yang lebih muda seperti Formasi Kampungbaru pada
umumnya terlipat lemah. Di daerah ini terdapat tiga jenis sesar yaitu sesar
naik, sesar turun, dan sesar mendatar. Sesar naik diduga terjadi pada Miosen
Akhir yang kemudian terpotong oleh sesar mendatar yang terjadi kemudian. Sesar
turun terjadi pada kala Pliosen. Di daerah Embalut terdapat lipatan yang
membentuk antiklin maupun sinklin
Sumberdaya mineral dan energi yang potensi di
Lembar Samarinda berupa minyak dan gas bumi serta batubara, terdapat di
Sangasanga, Muarabadak dan Tanjung Selatan , sedangkan batubara terdapat di
Loahaur, Loabukit dan Sebuluh. Semuanya di tepi S. Mahakam.
Struktur geologi regional dan tektonika yang
berkembang di sekitar daerah penyelidikan adalah berupa perlipatan, sesar dan
kelurusan berarah Baratdaya-Timurlaut dan Baratlaut-Tenggara.
Struktur perlipatan berupa antiklin dan
sinklin dengan sumbu yang relatif sejajar dengan pola struktur regional yakni
Baratdaya-Timurlaut, sayap-sayap struktur antiklin dan sinklin umumnya
membentang asimetris dengan sudut kemiringan yang landai hingga curam. Secara
setempat ujung-ujung sumbu struktur perlipatan tersebut, sebagian ada yang
menunjam, terpotong oleh struktur sesar atau tertimbun batuan lain.
Struktur antiklin dan sinklin sebagian besar
melipat batu-batuan sedimen berumur Tersier dan menyingkapkan batuan malihan
dan sedimen yang berumur jauh lebih tua.
Beberapa batuan sedimen Tersier pembawa batubara
yang ikut terlipat, juga menyingkapkan atau mendekatkan lapisan batubara ke
permukaan bumi.
Struktur sesar umumnya
membentuk sesar normal, sesar geser dan sesar naik, dengan pola berarah
Baratlaut-Tenggara dan Baratdaya-Timur laut.
Struktur sesar yang
nampak saat ini umumnya mengoyak batuan-batuan sedimen berumur Tersier dan
Pra-Tersier.
Struktur ini kemungkinan
yang menyebabkan terjadinya proses intrusi yang menghasilkan mineralisasi, atau
mengubah karakteristik lapisan batubara.
Kelurusan-kelurusan yang
terbentuk, diperkirakan merupakan jejak atau indikasi struktur
sesar dan kekar dengan pola yang searah struktur umum regional. Kelurusan
ini umumnya menoreh batuan-batuan berumur Tersier dan Pra-Tersier.
Mengingat litologi di
daerah ini didominasi oleh batuan yang berumur Tersier, diduga kehadiran sesar,
perlipatan dan kelurusan yang terlihat sekarang, berhubungan erat dengan
kegiatan tektonik pada Zaman Tersier atau Intra Miosen.
Secara regional kegiatan
tektonik di daerah ini dimulai sejak Mesozoikum hingga Tersier seiring dengan
terbentuknya urutan stratigrafi dari litologi formasi batuan yang
terlihat sekarang. (S.
Supriatna,
Sukardi, dan E.Rustandi, 1995)
referensi :
- Allen, G.P dan Chambers,
J.LC., 1998, Deltaic Sediment in The Modern and Miocene Mahakam Delta, IPA,
Jakarta
- Biantoro, E., Muritno, B.P.,
Mamuaya, J.M.B., 1992, Inversion Faults As The Major Structural Control In The
Northern Part Of The Kutai Basin, East Kalimantan, Proceedings of 21st Annual
Convention of Indonesian Petroleum Association
- Hadipandoyo, S., Setyoko,
J., Suliantara, Guntur, A., Riyanto, H., Saputro, H.H., Harahap, M.D., Firdaus,
N., 2007, Kualifikasi Sumberdaya Hidrokarbon Indonesia, Pusat Penelitian dan
Pengembangn Energi dan Sumberdaya Mineral “LEMIGAS”, Jakarta
- Hall, R., 2005, Cenozoic
Tectonics of Indonesia, Problems and Models, Indonesian Petroleum Association
and Royal Halloway University of London
- Hutchison, C.S., 1996, The
'Rajang Accretionary Prism' and 'Lupar Line' Problem of Borneo, in R. Hall and
D.J. Blundell, (eds.), Tectonic Evolution of SE Asia, Geological Society of
London Special Publication, p. 247-261.
- Mora, S., Gardini, M.,
Kusumanegara, Y., dan Wiweko, A.A., 2000, Modern, ancient deltaic deposits
& petroleum system of Mahakam Area. AAPG-IPA Fieldtrip Guidebook
- Moss, S.J. dan Chambers,
J.L.C., 1999, Depositional Modelling And Facies Architecture Of Rift And
Inversion In The Kutai Basin, Kalimantan, Indonesia, Indonesian Petroleum
Association, Proceedings 27th Annual Convention, Jakarta, 459-486
- Satyana, A.H., Nugroho, D.,
Surantoko, I, 1999, Tectonic Controls on The Hydrocarbon Habitats of The
Barito, Kutai and Tarakan Basin, Eastern Kalimantan, Indonesia; Major
Dissimilarities, Journal of Asian Earth Sciences Special Issue Vol. 17, No.
1-2, Elsevier Science, Oxford 99-120
- Van de weerd, A. A., and
R.A. Armin, 1992, Origin and evolution of the Tertiary hydrocarbon bearing
basins in Kalimantan (Borneo), Indonesia: AAPG Bulletin, v.76,p.1778-1803
0 komentar:
Posting Komentar