22.48 -
No comments
Sedimentologi dan Stratigrafi
DEFINISI-DEFINISI
Endapan sedimen (sedimentary deposit) adalah
tubuh material padat yang terakumulasi di permukaan bumi atau di dekat
permukaan bumi, pada kondisi tekanan dan temperatur yang rendah. Sedimen
umumnya (namun tidak selalu) diendapkan dari fluida dimana material penyusun
sedimen itu sebelumnya berada, baik sebagai larutan maupun sebagai suspensi.
Definisi ini sebenarnya tidak dapat diterapkan untuk semua jenis batuan sedimen
karena ada beberapa jenis endapan yang telah disepakati oleh para ahli sebagai
endapan sedimen: (1) diendapkan dari udara sebagai benda padat di bawah
temperatur yang relatif tinggi, misalnya material fragmental yang dilepaskan
dari gunungapi; (2) diendapkan di bawah tekanan yang relatif tinggi, misalnya
endapan lantai laut-dalam.
Petrologi sedimen (sedimentary
petrology) adalah cabang petrologi yang membahas batuan sedimen,
terutama pemerian-nya. Di Amerika Serikat, istilah sedimentasi (sedimentation) umumnya
digunakan untuk menamakan ilmu yang mempelajari proses pengakumulasian sedimen,
khususnya endapan yang asalnya merupakan partikel-partikel padat dalam suatu
fluida. Pada 1932, Wadell mengusulkan istilah sedimentologi (sedimentology) untuk
menamakan ilmu yang mempelajari segala aspek sedimen dan batuan sedimen.
Sedimentologi dipandang memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada
petrologi sedimen karena petrologi sedimen biasanya terbatas pada studi
laboratorium, khususnya studi sayatan tipis, sedangkan sedimentologi meliputi
studi lapangan dan laboratorium (Vatan, 1954:3-8). Pemakaian istilah
sedimentologi untuk menamakan ilmu yang mempelajari semua aspek sedimen dan
batuan sedimen disepakati oleh para ahli sedimentologi Eropa, bahkan akhirnya
dikukuhkan sebagai istilah resmi secara internasional bersamaan dengan
didirikannya International Association of Sedimentologists pada 1946.
Batas pemisah antara sedimentologi dengan
stratigrafi sebenarnya tidak jelas. Stratigrafi secara luas diartikan sebagai
ilmu yang membahas tentang segala aspek strata, termasuk studi tekstur,
struktur, dan komposisi. Walau demikian, dalam prakteknya, para ahli
stratigrafi lebih banyak menujukan perhatiannya pada masalah penentuan
urut-urutan stratigrafi dan penyusunan kolom geologi. Jadi, masalah sentral
dalam stratigrafi adalah penentuan urut-urutan batuan dan waktu yang
dicerminkan oleh berbagai penampang lokal, pengkorelasian penampang-penampang
lokal, dan penyusunan suatu penampang yang dapat digunakan secara sahih sebagai
wakil dari tatanan stratigrafi dunia. Walau demikian, pengukuran ketebalan dan
pemerian litologi umum (gross lithology) masih dipandang
sebagai tugas para ahli stratigrafi. Karena itu, tidak mengherankan apabila
banyak pengetahuan tentang ciri khas endapan sedimen—misalnya perlapisan,
perlapisan silang-siur, dan ciri-ciri lain yang sering terlihat dalam
singkapan—diperoleh dari hasil penelitian stratigrafi.
Pemelajaran batuan sedimen tidak dapat
dipisahkan dari disiplin ilmu lain. Banyak diantara disiplin ilmu itu—misalnya
mineralogi, geokimia, dan geologi kelautan—memberikan sumbangan pemikiran yang
berharga untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai endapan
sedimen. Sedimentologi sendiri banyak memberikan sumbangan pemikiran yang
berharga dalam penelitian stratigrafi dan geologi ekonomi (gambar 1-1 dan 1-2).
SEJARAH PERKEMBANGAN SEDIMENTOLOGI
Meskipun sedimentologi merupakan sebuah ilmu
yang relatif muda, namun pengetahuan manusia tentang sedimen telah ada sejak
lama. Manusia primitif mengetahui sifat dan kegunaan batuapi (flint)yang
mereka pakai sebagai pisau, mata anak panah, dan mata tombak. Mereka juga
mengetahui kegunaan praktis dari lempung sebagai bahan baku gerabah dan manfaat
oker (ocher) sebagai zat pewarna. Sebagian tata peristilahan
lama yang muncul sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan—misalnya cobble, pebble,
dan flint—masih tetap digunakan sampai sekarang.
Tulisan tertua yang mengungkapkan berbagai
bentuk spekulasi tentang proses sedimentasi alami dapat ditemukan dalam karya
orang-orang Yunani kuno (Krynine, 1960). Walau demikian, tulisan-tulisan itu
belum bisa dipandang sebagai karya ilmiah.
Pemelajaran batuan sedimen pada mulanya
merupakan pemelajaran stratigrafi, berupa penelitian lapangan yang dilakukan
untuk mengetahui geometri umum (ketebalan dan penyebaran) tubuh sedimen. Salah
satu buah pikiran penting dalam per-kembangan stratigrafi dipersembahkan oleh
William Smith (1815), seorang insinyur dan surveyor otodidak, melalui karyanya:
peta geologi Inggris. Peta itu disusun berdasarkan hasil penelitian Smith
selama bertahun-tahun dengan menempuh perjalanan sejauh 11.000 mil. Itulah
tulisan pertama yang berhasil merekam penyebaran dan urut-urutan batuan sedimen
di suatu daerah. Sumbangan pemikiran penting dari Smith adalah penggunaan fosil
untuk korelasi. Dari penjelasan di atas kita dapat memaklumi bahwa sedimentologi
berakar pada stratigrafi. Karena itu, tidak mengherankan apabila pada saat ini
kita masih melihat eratnya kaitan antara stratigrafi dan sedimentologi. Para
ahli stratigrafi masa lalu banyak menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam
mengembangkan pengetahuan tentang sedimen. Pemikiran-pemikiran tersebut
sebagian diwujudkan dalam bentuk tulisan, misalnya dalam buku Principles
of Stratigraphy karya Grabau (1913) dan Treatise of
Sedimentation karya Twenhofel (1928).
Pemelajaran sedimen sebagai disiplin tersendiri,
terpisah dari stratigrafi, dimulai dengan terbitnya surat terbuka Henry Clifton
Sorby (1879) kepada Presiden Geological Society of London yang berjudul “On the
structure and origin of limestones.” Meskipun ketertarikan Sorby pada batuan
sedimen telah muncul sejak 1850, namun surat tersebut dan makalahnya yang
berjudul “On the structure and origin of the non-calcareous stratified rocks”
(terbit pada 1880) saja yang dipandang para ahli sebagai dua tonggak penting
yang menandai kelahiran sedimentologi sebagai sebuah disiplin ilmu baru. Sorby
memperkenalkan studi sayatan tipis sebagai salah satu teknik penelitian batuan
sedimen. Teknik itu kemudian digunakan sebagai salah satu teknik paling
mendasar dalam penelitian petrologi, baik penelitian petrologi batuan sedimen,
maupun penelitian petrologi batuan beku dan batuan metamorf. Karena itu, Sorby
dipandang sebagai “Bapak Petrologi”. Pemikiran Sorby jauh melampaui rekan-rekan
seangkatan-nya. Karyanya tentang pemakaian lapisan silang-siur dalam perekonstruksian
paleogeografi tidak banyak dipahami rekan-rekannya dan baru dapat dibuktikan
kesahihannya pada pertengahan abad 20.
Studi sayatan tipis kemudian lebih banyak
dikembangkan oleh para ahli petrologi batuan beku, khususnya para ahli
petrologi Jerman seperti Rosenbusch dan Zirkel. Sebaliknya, teknik itu justru
agak diabaikan oleh para ahli yang menggeluti batuan sedimen. Hal itu mungkin
terjadi karena generasi ahli sedimen saat itu lebih terdidik sebagai ahli
stratigrafi, bukan ahli petrologi sedimen atau ahli sedimentologi. Namun, masih
ada beberapa orang yang dapat dipandang sebagai pengecualian, misalnya Lucien
Cayeux dari Perancis. Studi sayatan tipis batuan sedimen, yang pernah
ditinggalkan, kini ini kembali mendapat perhatian yang cukup serius dari
kalangan ahli batuan sedimen. Hal ini mungkin berkaitan dengan berkembangnya
sedimentologi sebagai suatu cabang ilmu geologi tersendiri yang telah
menghasilkan generasi baru yang benar-benar ahli dalam sedimentologi.
Pada akhir abad 19 serta awal abad 20, para ahli
petrologi sedimen (kecuali Cayeux) lebih banyak menujukan perhatian mereka pada
pemelajaran mineralogi sedimen, khususnya mineral berat (BJ > 2,85). Studi
mineral berat umumnya dilakukan oleh para ahli Eropa. Hasil penelitian Illing (1916),
yang menunjukkan bahwa endapan sedimen dalam cekungan tertentu cenderung
mengandung kumpulan mineral berat tertentu, telah mendorong munculnya apa yang
disebut sebagai “korelasi mineral berat” (“heavy-mineral correlation”).
Kegunaan mineral berat sebagai “alat” korelasi dan penerapannya dalam korelasi
bawah permukaan dalam kegiatan eksplorasi migas telah menambah daya tariknya.
Puncak fasa perkembangan studi mineral berat ditandai dengan terbitnya Principles
of Sedimentary Petrographykarya Milner (1922). Buku itu pernah dijadikan
rujukan oleh para ahli yang ingin mempelajari mineral detritus dalam pasir.
Makin lama pemelajaran mineral berat makin kurang diminati para ahli sedimen.
Hal itu terjadi karena: (1) timbulnya keraguan akan kesahihan korelasi yang
didasarkan pada kehadiran mineral berat seperti yang diajukan oleh Sidowski dan
Weyl; (2) adanya perkembangan baru, yakni pemakaian mikrofosil dan well
logs sebagai alat korelasi bawah permukaan. Agaknya sebab kedua itulah
yang “mengakhiri” era studi mineral berat.
Pada 1919, thesis master C. K. Wentworth yang
berjudul A Field and Laboratory Study of Cobble Abrasion diterbitkan
dalam Journal of Geology. Wentworth, yang pada waktu itu merupakan
mahasiswa pasca sarjana pada University of Iowa, mengembangkan satu ancangan
baru untuk meneliti material sedimen. Dia juga mampu mendefinisikan kebundaran
sebagai suatu sifat fisik partikel sedimen yang dapat diukur. Kuantifikasi
sifat itu mampu menggantikan penilaian subjektif yang sebelum-nya digunakan
oleh para ahli sedimentologi dalam menentukan kebundaran. Lebih jauh lagi,
kuantifikasi memicu munculnya data kuantitatif serta memungkinkan dilakukannya
studi laboratorium terhadap proses sedimentasi, misalnya abrasi kerakal. Dengan
demikian, Wentworth membawa sedimentologi untuk memasuki era pengukuran dan
percobaan terkontrol. Benar, bahwa sebelumnya telah ada ahli sedimentologi yang
melakukan berbagai percobaan, misalnya saja analisis besar butir yang dilakukan
oleh Daubree, namun penelitian-penelitian itu tidak memberikan pengaruh yang
berarti pada pemikiran para ahli sedimentologi saat itu sehingga mereka umumnya
masih tetap melakukan penelitian secara kualitatif dan agak subjektif.
Makalah pertama karya Wentworth itu kemudian
disusul oleh sejumlah makalah lain yang menunjukkan kepada semua pihak betapa
bergunanya metoda tersebut dalam penelitian sedimen. Selama dua dasawarsa
berikutnya, metoda kuantatif diterapkan oleh banyak ahli sedimentologi terhadap
sifat-sifat sedimen yang lain. Ledakan data kuantitatif itu pada gilirannya
menimbulkan kebutuhan para ahli akan adanya metoda-metoda yang memungkinkan
mereka dapat mengambil intisari yang terkandung didalamnya untuk menghasilkan
butir-butir pengetahuan baru. Metoda yang dibutuhkan itu telah tersedia, yakni
metoda statistika yang pada waktu itu masih terus dikembangkan oleh banyak ahli
statistika dan matematika.
Meskipun metoda pengukuran besar butir sedimen
klastika (“analisis mekanik”) sudah digunakan secara luas dalam disiplin ilmu
lain, khususnya ilmu tanah, namun metoda itu baru dikembangkan untuk
pemelajaran sedimen pada akhir abad 19. Masuknya metoda itu ditandai dengan
terbitnya karya tulis Udden (1899, 1914). Kedua karya tulis Udden itu termasuk
tulisan pertama yang mencoba menjelaskan sejarah endapan sedimen berdasarkan
hasil analisis besar butir (untuk mengetahui sejarah perkembangan penelitian
besar butir, lihat karya tulis Krumbein, 1932). Metoda analisis dan penerapan
teknik-teknik statistika untuk analisis besar butir kemudian disempurnakan dan
dikembangkan lebih jauh oleh Krumbein dan ahli-ahli lain.
Lahirnya geokimia sebagai cabang ilmu geologi
baru menyebabkan munculnya metoda dan data observasi baru mengenai berbagai hal
yang banyak menarik perhatian para ahli sedimentologi. Sebagian besar
penelitian geokimia pada mulanya diarahkan pada penelitian kuantitatif untuk
mengetahui penyebaran unsur-unsur kimia di alam, termasuk penyebarannya dalam
batuan sedimen. Lambat laun data tersebut menuntun para ahli untuk memahami apa
yang disebut sebagai siklus geokimia (geochemical cycle) serta
penemuan hukum-hukum yang mengontrol penyebaran unsur dan proses-proses yang
menyebabkan timbulnya pola penyebaran unsur seperti itu.
Baru-baru ini, kimia nuklir (nuclear
chemistry) menyumbangkan sebuah “jam” dan “termometer” yang pada
gilirannya membuka era penelitian baru terhadap sedimen. Unsur-unsur
radioaktif, khususnya 14C dan 40K, memungkinkan
dilakukannya metoda penanggalan langsung terhadap batuan sedimen tertentu.
Metoda 14C, yang dikembangkan oleh Libby, dapat diterapkan pada
endapan resen. Metoda 40K/40Ar terbukti dapat
diterapkan pada glaukonit, felspar autigen, mineral lempung, dan silvit yang
ditemukan dalam endapan tua. Analisis isotop dapat digunakan untuk menentukan
temperatur purba. Metoda Urey—berdasar-kan nisbah 16O/18O
yang merupakan fungsi dari temperatur—dapat dipakai untuk menaksir temperatur
pembentukan cangkang fosil yang ada dalam endapan bahari. Meskipun “jam” dan
“termometer” tersebut masih memperlihatkan kekeliruan, namun harus diakui bahwa
keduanya telah memberikan kontribusi yang berarti terhadap pemelajaran sedimen.
Van’t Hoff adalah orang pertama yang
memanfaatkan azas fasa untuk mempelajari kristalisasi larutan garam dan
pem-bentukan endapan garam. Mulanya penelitian eksperimental terhadap campuran
yang dapat menghasilkan kristal, terutama sistem silikat temperatur tinggi,
dilakukan oleh para ahli petrologi batuan beku dan metamorf. Baru pada beberapa
dasawarsa terakhir ini saja hal itu menarik perhatian para ahli sedimen.
Sebagai contoh, Milton & Eugster (1959) memakai ancangan itu untuk meneliti
endapan non-marin dan mineral-mineral yang mencirikan Green River Formation di
Wyoming dan Colorado. Zen (1959) menunjukkan bahwa azas fasa yang dikemukakan
oleh Gibbs dapat diterapkan untuk menganalisis hubungan antara mineral lempung
dan mineral karbonat. Hasil penelitian Zen kemudian diterapkan oleh Peterson
(1962) terhadap larutan karbonat di bagian timur Tennessee. Perkembangan metoda
yang relatif baru itu dapat dibaca dalam karya tulis Eugster (1971).
Berbagai kajian teoritis dan eksperimental
tentang stabilitas mineral pada berbagai kondisi oksidasi-reduksi (Eh) dan pH
dilakukan oleh Garrels dan beberapa ahli lain (lihat Garrels & Christ,
1965). Penelitian aspek-aspek geokimia sedimen banyak menambah pengertian kita
tentang endapan sedimen. Buku-buku yang membahas tentang topik-topik geokimia
sedimen antara lain adalah Geochemistry of Sediments karya
Degens (1965) dan Principles of Chemical Sedimentology karya
Berner (1971).
Penelitian sedimen resen merupakan hal esensil
untuk memahami sedimen purba. Hal itu pada hakekatnya merupakan konsekuensi
logis dari teori uniformitarisme yagn dikemukakan oleh James Hutton. Dengan
pengecualian untuk Walther, Thoulet, dan beberapa ahli lain, para ahli sedimen
hingga beberapa tahun terakhir umumnya masih mengabaikan aspek ini. Pengetahuan
kita tentang sedimen resen, khususnya sedimen bahari, sebagian besar diperoleh
dari hasil-hasil penelitian oseanografi. Penelitian oseanografi pertama, dan
mungkin yang paling terkenal, adalah Ekspedisi Challenger. Terbitnya laporan
Ekspedisi Challenger pada 1891 menandai berdirinya oseanografi sebagai suatu
disiplin ilmu tersendiri. Laporan itu antara lain berisi data tentang
penyebaran dan sifat sedimen bahari, khususnya sedimen yang ada di dasar
laut-dalam. Ekspedisi-ekspedisi lain yang dilaksanakan dengan memakai kapal
peneliti Gazelle, Meteor, Blake, dan lain-lain makin menambah data dan
pengetahuan kita mengenai sedimen bahari. Selama beberapa tahun terakhir makin
banyak ahli geologi yang berpendapat bahwa penelitian sedimen resen banyak
membantu perkembangan sedimentologi. Stetson (dari Woods Hole) dan Shepard
(dari Scripps) adalah dua ilmuwan yang banyak memberikan sumbangan pemikiran
dan membangkitkan kembali ketertarikan orang terhadap endapan bahari. Sedimen
delta dan litoral juga dipelajari secara intensif pada beberapa dasawarsa
terakhir, khususnya oleh Fisk (di Amerika Serikat), van Straaten dkk (di
Belanda), serta oleh suatu kelompok studi di Senckenberg. Recent Marine
Sediments yang disunting oleh Parker Traks (1939) merupakan salah satu
bukti makin tingginya ketertarikan para ahli geologi terhadap sedimen resen.
Proyek penelitian American Association of Petroleum Geologists di Teluk Mexico,
berbagai penelitian van Straaten pada beberapa dataran pasut di Belanda,
penelitian-penelitian van Andel di Sungai Rhine dan Orinoco,
penelitian-penelitian Kruit & van Andel pada delta Rhone, serta penelitian
Ginsburg pada endapan karbonat di Bahama dan Florida adalah beberapa contoh
yang menunjukkan kecenderungan para ahli untuk mempelajari sedimen resen.
Dengan beberapa pengecualian, penelitian sedimen
modern sering dilakukan tanpa mengacu pada rekaman geologi sehingga
penelitian-penelitian itu gagal dalam mendapatkan informasi yang diperlukan
untuk memahami rekaman geologi yang biasa dihadapi oleh para ahli geologi
lapangan. Kegagalan itu terutama disebabkan karena sampel umumnya diambil dari
bidang batas sedimen-fluida serta hanya aspek-aspek mineralogi dan tekstur saja
yang dipelajari. Penelitian-peneliitan sedimen Holosen yang lebih berguna
haruslah bersifat tiga dimensi, meliputi pengeboran yang memungkinkan
diketahuinya geometri tiga dimensi dari endapan, urutan vertikal
lapisan-lapisannya, serta struktur sedimen yang ada didalamnya.
Ancangan tiga dimensional untuk mempelajari
sedimen resen mendorong orang untuk meninjau lebih jauh geometri dan penampang
vertikal sedimen, baik sedimen resen maupun sedimen purba. Bentuk dan dimensi
endapan pasir merupakan salah satu hal yang banyak menarik perhatian para ahli
dan telah dijadikan tema simposium pada 1960 (Peterson & Osmond, 1961).
Demikian pula dengan morfologi terumbu modern dan purba (lihat, misalnya, Reef
Issue pada Bullentin AAPG vol. 34, no. 2).
Secara historis, stratigrafi adalah ilmu
deskriptif dan tidak banyak memberi perhatian pada genesis paket stratigrafi.
Hukum Fasies Walther menyatakan bahwa pada tempat dimana tidak ada rumpang
waktu, maka sedimen-sedimen yang bersebelahan secara lateral akan terlihat
bertumpuk satu di atas yang lain dalam penampang vertikal. Sebagai hasil studi
sedimen resen, konsep ini digunakan untuk merekonstruksikan model fasies yang
berkaitan erat dengan proses-proses sedimentasi, misalnya transgresi dan regresi.
Hukum itu memungkinkan para ahli untuk memahami mekanisme pembentukannya.
Konsep model fasies mungkin merupakan satu-satunya kemajuan penting dalam
analisis sedimen dalam beberapa dasawarsa terakhir. Tulisan pertama yang
mengungkapkan arti penting penampang vertikal dalam perekonstruksian lingkungan
disusun oleh Visher (1965), sedangkan penjelasan yang lebih elementer disusun
oleh Selley (1970). Contoh yang sangat baik mengenai ancangan ini dalam
stratigrafi dapat dilihat dalam makalah yang disusun oleh de Raaf dkk (1965)
serta Allen (1962).
Penelitian-penelitian terhadap paket vertikal
tidak hanya menyangkut litologi dan fosil, namun juga struktur sedimen.
Kecenderungan orang untuk mempelajari struktur sedimen menyebabkan munculnya
sejumlah makalah yang membahas tentang genesis struktur sedimen,
penggolongannya, serta penggunaannya dalam menentukan lingkungan dan arus
purba.
Penelitian struktur sedimen tidak hanya menarik
karena dapat digunakan dalam analisis lingkungan pengendapan, namun juga dapat
digunakan sebagai penunjuk sistem arus pada lingkungan tempat
pengakumulasiannya. Sistem arus purba dapat direkonstruksikan dengan cara
mengukur dan memetakan struktur arus, sebagaimana pernah dilakukan oleh Sorby
satu abad yang lalu. Meskipun struktur arus telah diketahui sejak lama, namun
pengukuran arah arus dari struktur tersebut merupakan hal baru. Hasil-hasil
penelitian arus purba yang terpadu mulai dilakukan sejak dirintis oleh Hans
Cloos dan murid-muridnya pada 1938. Sejak 1950, penelitian tersebut menduduki
tempat tertentu dalam kerangka penelitian sedimen secara keseluruhan.
Kecenderungan untuk mempelajari struktur sedimen
mendorong para ahli untuk memahami cara pembentukannya. Karena banyak diantara
struktur sedimen itu terbentuk oleh arus, maka studi hidrodinamika proses
pembentukan sedimen dan struktur sedimen kemudian mendapat perhatian khusus.
Hal inilah yang mendorong terbitnya Primary Sedimentary Structures and
Their Hydrodynamic Interpretation (disunting oleh Middleton, 1965)
serta sejumlah makalah penting yang disusun oleh Allen (1969, 1970, 1971) dan
beberapa ahli lain.
Ketertarikan pada geometri, urut-urutan
vertikal, dan struktur sedimen menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam
penelitian sedimen, yakni penekanan kembali pentingnya studi mineralogi dan
tekstur sedimen serta pengembangan studi struktur sedimen, geometri, dan
urut-urutan vertikal. Penelitian sedimen yang dipandang sebagai bentuk fusi
dari stratigrafi dan petrologi sedimen ini disebut sedimentologi (Doeglas,
1951). Bentuk studi yang baru ini pada gilirannya telah menumbuhkan kesadaran
akan pentingnya studi lapangan yang selama ini kurang diperhatikan.
Lahirnya sedimentologi telah menyebabkan
bertambah luasnya ruang lingkup studi sedimen: dari hanya sekedar studi
lingkungan pengendapan menjadi studi cekungan. Analisis cekungan mengaitkan
tektonik dan sedimentasi. Studi sedimentasi sekarang meliputi studi sistem arus
purba, pemetaan fasies, dan perekonstruksian paleogeografi. Konsep-konsep yang
di-kembangkan menekankan bahwa sistem penyebaran klastika menyebabkan
terbentuknya sifat-sifat skalar dan vektoral yang dapat digunakan untuk
merekonstruksikan konfigurasi cekungan, kondisi-kondisi sedimentasi, dan
paleogeografi. Jadi, konsep itu menyatukan seluruh metoda dan konsep petrologi
sedimen lama dengan hasil-hasil studi modern untuk memformulasikan model-model
cekungan. Adanya model-model cekungan memungkinkan diperolehnya pemahaman yang
lebih baik mengenai pengisian cekungan sedimen dan memungkinkan para ahli untuk
membuat berbagai prediksi tentang penyebaran dan karakter sedimen, meskipun
sedimen itu tidak terlihat secara langsung.
Bersamaan dengan perkembangan analisis arus
purba, selama beberapa dasawarsa terakhir (terutama sejak akhir Perang Dunia
II) terjadi juga perkembangan yang pesat dalam kuantifikasi dan pemetaan
fasies. Adanya hubungan yang erat antara fasies dengan keberadaan migas telah
menjadi pemicu pengembangan lebih lanjut konsep fasies. Suatu simposium yang
disponsori oleh Geological Society of America pada 1948 merupakan salah satu
bukti betapa tingginya ketertarikan para ahli pada studi fasies. Atlas sinoptik
yang berisi peta-peta fasies Fanerozoikum di Amerika Serikat disusun oleh Sloss
dkk (1960).
Studi cekungan sedimen, pengamatan isi dan
perekonstruksian sejarahnya, telah membawa para ahli untuk sampai pada masalah
evolusi benua. Hubungan antara sedimentasi dan tektonik, antara kraton dan
geosinklin, serta antara sedimentasi dengan tektonik lempeng, telah menjadi
masalah-masalah besar yang menarik perhatian para ahli. Ketertarikan akan
kaitan antara sedimentasi dengan tektonik sebenarnya telah ada sejak lama,
misalnya saja hal ini pernah menjadi topik bahasan Bertrand (1897) dan Tarcier
(1937). Namun, orang baru tertarik kembali pada masalah tersebut setelah terbit
karya-karya Krynine (1942, 1951), Pettijohn (1943), Ronov dkk (1969), serta
Garrels & MacKenzie (1971). Studi ini sangat besar pengaruh-nya terhadap
pengetahuan tentang cekungan dan sejarah bumi. Masalah ini sebenarnya bukan
merupakan tugas sedimentologi saja, namun semua cabang ilmu geologi. Walau
demikian, dalam kaitannya dengan hal ini, sedimentologi memegang peranan
penting karena merupakan ilmu yang dapat mengungkapkan rekaman
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu.
Dari seluruh penjelasan di atas dapat dilihat
bahwa sedimentologi telah melalui empat tahap perkembangannya, yaitu:
1.
Tahap studi endapan sedimen sebagai satuan stratigrafi.
2.
Pengumpulan data batuan sedimen dan pemformulasian
tafsiran-tafsiran tentatif.
3.
Lahirnya petrografi sedimen sebagai disiplin ilmu baru, dengan
penekanan pada studi sayatan tipis sedimen purba dan analisis laboratorium
mengenai tekstur dan mineralogi sedimen lepas.
4.
Studi tiga dimensi sedimen dan batuan sedimen serta analisis
lingkungan berdasarkan geometri, penampang vertikal, dan struktur sedimen.
Perkembangan ini meliputi studi lapangan dan laboratorium sehingga lebih tepat
disebut sedimentologi.
Perkembangan sedimentologi sebagai cabang ilmu
geologi ditunjang dengan lahirnya sejumlah perhimpunan profesional,
didirikannya bagian sedimentologi pada lembaga-lembaga pemerintah,
berkembangnya industri migas, serta terbitnya jurnal-jurnal profesional. Pada
1920, National Research Council membentuk Committee on Sedimentation yang
pertama kali dipimpin oleh W. H. Twenhofel. Komite itu menangani penyusunan dan
penerbitan Treatise on Sedimentation (1928, 1932), Recent
Marine Sediments (1939), dan Applied Sedimentation (1950).
Society of Economic Paleontologists and Mineralogists yang didirikan sebagai
bagian dari American Association of Petroleum Geologists pada 1927 merupakan
perhimpunan utama bagi para ahli stratigrafi (ahli mikropaleontologi) dan ahli
sedimentololgi Amerika Serikat. Journal of Sedimentary Petrology yang
diterbitkan sejak 1930 merupakan terbitan berkala dari perhimpunan tersebut.
International Association of Sedimentologists didirikan pada 1946. Perhimpunan
itu menerbitkan terbitan berkala yang diberi nama Sedimentology. Jurnal lain
yang khusus menampilkan makalah-makalah sedimentologi adalah Sedimentary
Geology yang pertama kali terbit pada 1967.
NILAI EKONOMIS DARI SEDIMEN
“Menurut data statistik yang ada saat ini,
sekitar 85–90% produk mineral tahunan berasal dari mineral sedimenter dan
endapan bijih…” (Goldschmidt, 1937). Kenyataan itu sudah cukup menjadi alasan
untuk mempelajari sedimentologi.
Sedimen memiliki nilai ekonomis karena beberapa
hal:
1.
Merupakan wadah tempat dimana bahan bakar fosil (migas) serta air
terkandung.
2.
Merupakan material bahan bakar, misalnya batubara dan serpih
minyak (oil shale).
3.
Merupakan material baku industri keramik, semen portland, serta
bahan bangunan.
4.
Material tempat dimana mineral logam dan non-logam terakumulasi.
Selain karena materialnya yang memiliki keempat
peran di atas, sedimentologi perlu dipahami karena pemahaman tentang
proses-proses pembentukan, pergerakan, dan pengendapan sedimen sangat penting
artinya dalam dunia rekayasa dan geomorfologi, terutama untuk memahami dan
mengantisipasi fenomena erosi pantai, pembuatan pelabuhan, manajemen dataran
banjir, dan erosi tanah. Jadi, tidak salah bila dikatakan bahwa untuk menjadi
ahli geologi-ekonomi, seseorang pertama-tama harus menjadi ahli sedimentologi.
Referensi : Pettijohn, 1975
0 komentar:
Posting Komentar